Oleh: keluarga ikmal | Januari 2, 2012

Keberkahan Ilmu : Ngangsu Kaweruh terhadap Kitab Ta’lim al-Muta’allim

Oleh : Agus Irfan[i]

Bentuk kitab klasik berjudul “Ta’lim al-muta’allim” ini tipis saja, hanya 63 halaman. Buku yang arti judulnya kira-kira “Bimbingan untuk Para Pelajar” ini ditulis oleh Ibrahim bin Isma’il al-Zarnuji, seorang tokoh (ulama) pendidikan Islam asal tranxosinia yang wafat pada tahun 591 H/1194 M.

Meskipun bentuknya bisa dibilang tipis, namun buku ini masih dipelajari bahkan menjadi kurikulum wajib di banyak pesantren terutama yang berbasis salafiyah, sampai sekarang. Isinya mengulas konsep belajar dan menawarkan beberapa tips dan kiat yang harus diperhatikan oleh mereka yang sedang menimba ilmu.

Meskipun di kalangan pesantren kitab ini masih dan selalu akan digandrungi, namun tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa kehadiran kitab ini adalah satu dari sekian faktor tersingkirnya pendidikan pesantren dalam kancah dunia modern, sehingga muncul kesan terhadap kaum sarung sebagai komunitas tradisional. Kelompok yang mengkritik beranggapan bahwa isi kitab ini sudah tidak relevan lagi kalau tidak dibilang out of date. Satu contoh adalah ketika membincang kedudukan sang guru sebagai orang dinilai jauh dari sikap demokratis dan hanya akan membunuh nalar kritis murid.

Penilaian yang demikian tidak sepenuhnya salah mengingat itu adalah hak setiap orang untuk menilai berdasarkan pendekatan dan cara pandangnya. Apalagi pemikiran dan penilaian tersebut menggunakan pendekatan eksoteris, yakni pemikiran yang diarahkan ke dunia luar (di luar dirinya) atau meminjam istilah filsafat dari mikrokosmos ke arah makrokosmos secara mendalam, bebas dan tanpa terikat dengan ajaran-ajaran tertentu,  yang di kemudian hari lahirlah produk-produk pemikiran rasional yang destruktif sebagaimana yang berkembang di Barat saat ini.

Oleh karena itu, Islam berbeda dengan paradigma di atas. Di satu sisi Islam sangat menghargai potensi akal dan meniscayakan berfikir rasional. Namun pada saat yang sama Islam juga menekankan pendidikan nilai dan karakter yang hari ini tidak ditemukan di dunia Barat. Dan kitab Ta’lim al muta’allim ini lahir jauh sebelum orang mengenal dan membincang arti pentingnya pendidikan nilai dan karakter. Kitab ini sangat sarat dengan nilai tersebut, sebagaimana Ibrahim Al-Zarnuji mengenalkan filosofi dasar belajar, nilai-nilai moral, sampai ke kiat-kiat praktis yang harus dipraktekkan para pelajar agar bisa mencapai prestasi dan merasakan lezatnya samudera pengetahuan.

Belajar, menurutnya, adalah aktifitas yang tidak hanya semata-mata berorientasi keduniawian, namun lebih dari itu belajar juga mengandung nilai ibadah sehingga harus dilandasi dengan ketulusan niat, karena niat akan menjadi starting point dan menentukan nilai kualitas sebuah pekerjaan. (al-Zarnuji : 10). Dengan merujuk pada sebuah hadits yang menyatakan “bahwa berapa banyak amal akhirat (berdampak positif) menjadi amal dunia karena baiknya niat, dan berapa banyak amal akhirat menjadi (kualitas) amal dunia juga karena pengaruh niat”, menunjukan betapa luhur dan tingginya sebuah nilai dalam hal ini niat.

Yang tak kalah menarik dari pendapatnya juga adalah, bahwa seorang pelajar juga harus mempunyai niat untuk memperjuangkan agama Islam (dakwah) yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena urgennya sebuah pengetahuan, dia mengatakah bahwa tidak ada istilah zuhud dan takwa tanpa satu kata  yakni “ilmu”.( (al-Zarnuji : 10).

Bangunan falsafah dasar seperti ini mengharuskan adanya kesiapan total para pelajar untuk menjadikan belajarnya sebagai sebuah perjalanan spiritual suci yang diyakini memiliki nilai ibadah di hadapan Allah Swt. Akibatnya, serangkaian kiat-kiat praktis, yang oleh sebagian orang dirasa akan mengekang, justru akan dijalani dengan penuh keikhlasan.

Di antara kiat praktis al-Zarnuji misalnya, adalah keharusan total para pelajar untuk patuh kepada gurunya dalam segala hal, kecuali jika diarahkan melakukan sesuatu yang bernilai “maksiat” di hadapan Allah SWT. Pelajar harus menjadikan dirinya laksana gelas kosong yang siap diisi dengan air yang diciduk dari samudera ilmu sang guru. Guru, adalah jembatan utama bagi sampainya pengetahuan kepada para penimba ilmu. Dan oleh karena sebagai jembatan utama, maka seorang pelajar harus memilih dengan sangat hati-hati kepada siapa akan berguru.

Ketika guru sudah dipilih, ia harus diperlakukan secara terhormat dengan menjaga etika kesopanan, seperti diupayakan jangan berjalan di depannya, menduduki kursi yang biasa dipakai guru, jangan memulai pembicaraan tanpa seizinnya, apalagi banyak bicara di sampingnya, (al-Zarnuji:17). Sebegitu dalamnya arti sebuah etika penghormatan, maka kata al-Zarnuji “anna al-insan la yakfuru bi al ma’siyah wainnama yakfuru bi tarki al hurmah” (pada dasarnya tidak ada manusia yang kufur karena maksiyat, tetapi faktor kufur adalah karena ketiadaannya rasa hormat).(al-Zarnuji:16). Etika penghormatan di sini menjadi faktor inti keberhasilan para pelajar. Karena dengan cara itu ia akan mendapatkan ridlo dan keberkahan gurunya.

Menolak kiat-kiat praktis ini akan menyebabkan para pelajar kehilangan berkah dan manfaat dari pengetahuan yang dipelajarinya. Dengan bahasa yang sangat lugas al-Zarnuji mengatakan “faman taadza ustadzahu yuhramu barkatu al ‘ilmi wa laa yantafi’u bihi illa qalila” (siapa saja yang dengan berani menyakiti hati gurunya dipastikan dia tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu, dan hanya akan memperoleh sedikit kemanfaatan ilmu yang dipelajarinya. (al-Zarnuji:18).

Dalam pandangan pendidikan modern, pola ini tentu akan dipandang sebelah mata kalau tidak dibilang aneh. Namun, ketika kitab ini dilihat dalam bingkai tradisi dunia tasawuf, maka akan ditemukan adanya spirit lain. Dunia tasawuf adalah dunia yang secara ketat mempraktekkan disiplin perilaku (Jawa:lelakon) tertentu yang ditetapkan oleh mursyid atau guru spiritual. Dalam spirit tasawuf inilah Ibrahim al-Zarnuji menulis karyanya ini. Lebih-lebih ketika al-Zarnuji menyebut serentetan kisah “sukses” guru-gurunya dahulu serta tokoh-tokoh besar Islam dalam karir keilmuan mereka. Menurutnya, hampir-hampir tidak ada kesuksesan yang mereka peroleh tanpa melalui lelakon-lelakon tersebut.

Penekanan terhadap spirit ini sangat kental hampir di semua tulisannya. Di awal pembahasan misalnya, al-Zarnuji menekankan bahkan mewajibkan ketulusan niat, penghormatan terhadap ilmu yang dipelajari dan terhadap guru yang mengajarkan serta keniscayaan untuk brsungguh-sungguh. Terlebih pada pasal-pasal berikutnya juga diuraikan secara detail pentingnya sikap tawakal, dan wara’. Dan di akhir pasal al-Zarnuji menerangkan tentang waktu yang baik untuk belajar dan menghafal, menerangkan beberapa faktor yang menjadikan orang menjadi pelupa, serta hal-hal yang dapat mendatangkan rizki dan keberkahan.

Pada akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu adalah ibarat secercah cahaya yang harus menerangi diri dan lingkungannya. Ilmu tidak hanya menjangkau fisik saja namun juga metafisik. Ilmu adalah hal yang sangat sarat dengan nilai dan oleh karena ilmu adalah cahaya Allah yang suci, maka untuk memperolehnya pun tidak cukup hanya mengandalkan usaha lahir saja, namun  juga harus diiringi dengan usaha batin, atau meminjam istilah pesantren “usaha riyadhoh”. Dan spirit itulah sebenarnya yang ingin ditawarkan dan ditekankan oleh penulis kitab ini.

Sebuah uraian yang sebenarnya akan selalu kontekstual dan relevan di semua waktu. Bahkan tidak menutupi kemungkinan kitab ini menjadi rujukan bagi setiap orang yang mendambakan pendidikan nilai dan karakter sebagai solusi terhadap problem pendidikan yang selalu muncul setiap saat, Usaha ini juga bisa dinilai sebagai sebuah anti tesis dari hegemoni pendidikan Barat yang kian hari tidak dapat menjadi problem solver apalagi memberikan pencerahan di semua sektor. Dalam ranah epistemologis misalnya, munculah apa yang kemudian disebut dengan istilah split personality, pribadi yang dualistik dan skeptis yang berujung pada isme-isme lain seperti liberalisme, pragmatisme, materialisme dan lain sebagainya sehingga tidak mengherankan jika di kemudian hari, muncul sarjana-sarjana yang ”hatinya berdzikir tapi pikirannya menghujat”. Oleh karena itu perlu dilakukan pembersihan ilmu dari unsur-unsur  dan nilai-nilai Barat (dewesternisasi). Wallahu ‘alam.

 


[i] Asisten Wakil Rektor IV Unissula Semarang.


Tinggalkan komentar

Kategori